KENAPA ALLAH KUMPULKAN KITA DI BLOG INI ?

SEJARAH SUMEDANG

SEJARAH SUMEDANG


Tahun 678

Berdirinya Kerajaan Tembong Agung

Kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih pada tahun 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. 

Prabu Guru Aji Putih merupakan putra Ratu Komara keturunan dari Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana


Tahun 721

Prabu Tajimalela menjadi Raja Kerajaan Sumedang Larang

Hari ke-21 Bratakusumah dipanggil oleh ayahnya, kemudian pada saat terang bulan dinobatkan menjadi Pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelar Prabu Tadjimalela. Menikah dengan Kencana Wulung putri Adinata dari Permaisuri Sari Ningrum, selanjutnya mengganti nama kerajaan menjadi Sumedang Larang. Di awal kekuasaannya mengangkat pejabat-pejabat kerajaan dari lingkungan keluarga. Kedudukan patih dijabat oleh pamannya sendiri yaitu Astajiwa dan sejumlah menterinya terdiri dari saudara-saudaranya. Sokawayana menjadi penghulu daerah sekitar Gunung Tampomas, Harisdarma menjadi penghulu daerah sekitar Gunung Haruman(Garut). Sedangkan Langlangbuana menjadi penghulu di daerah Lemah Putih kemudian menjadi pengabdi Kerajaan Galuh. Pembagian tugas memperlihatkan sistem yang dibangun Prabu Tadjimalela adalah sistem monarkhi konstitusional. Pemerintahan yang paling rendah adalah dukuh(desa) dijabat oleh petinggi, kedudukannya sebagai pemimpin desa. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu: yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun.

Berdirinya Kerajaan Sumedang Larang

Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Tajimalela di bekas Kerajaan Tembong Agung. Sebelum menjadi Kerajaan Sumedang Larang, dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Himbar Buana.


Tahun 778

Sumedang Larang Dirajai oleh Prabu Lembu Agung

Setelah bimbang memutuskan siapa yang akan menjadi penerusnya, Prabu Tadjimalela melalui perundingan dengan kedua putranya (Jayabrata/Lembu Agung dan Atmabrata/Gajah Agung) akhir memutuskan bahwa Jayabrata harus menerima tahta kerajaan. Jayabratapun menerima keputusan ayahnya dengan ucapan Darma Ngarajaan(sekedar raja). Perkataan Jayabrata ini menjadi nama sebuah kota yang dikenal Darmaraja. Pada saat gelap bulan, dinobatkanlah Jayabrata menjadi pemangku kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Prabu Lembu Agung. Beliau menikah dengan Banon Pujasari putri Hidayat dari Sari Fatimah cucu Harisdarma. Untuk mengatasi pengaruh politik yang timbul dari dalam maupun luar, beliau mengadakan penguatan integritas penduduk-penduduk perkotaan dan penduduk dusun-dusun yang tersebar di wilayah-wilayah Sumedang Larang. Golongan keturunan rada dan golongan resi merupakan bagian yang sangat berpengaruh di tengah-tengah kehidupan rakyatnya. Resi mempunyai kedudukan yang tinggi dalam keagamaan. Prabu Lembu Agung banyak membangun sarana peribadatan dan mengembangkan kebudayaan.


Tahun 893

Sumedang Larang Dirajai oleh Prabu Gajah Agung

Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan


Tahun 998

Sumedang Larang Dipimpin oleh Prabu Pagulingan

Kepemimpinan Sumedang Larang dilanjutkan oleh Prabu Pagulingan (998 – 1114 M). Prabu Pagulingan menjadi raja Sumedang Larang yang keempat.


Tahun 1114

Sunan Guling (Mertalaya)

Mertalaya yang dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237 M) mempunyai tiga putra: Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat


Tahun 1237

Sunan Tuakan (Tirta Kusuma)

Sunan Tuakan memiliki tiga putri: yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana diperistri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya Dewata.


Tahun 1462

Ratu Sintawati (Nyai Mas Patuakan)

Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan menikah dengan Sunan Corenda Raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata


Tahun 1505, 29 Mei 1505

Lahir Raden Solih (Ki Gendeng Sumedang, Pangeran Santri)

Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri


Tahun 1529

Agama Islam Mulai Menyebar

Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan


Tahun 1530

Ratu Pucuk Umun (Ratu Inten Dewata)

Putri Ratu Sintawati yang bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum.


 21 Oktober 1530

Pangeran Santri (Pangeran Kusumadinata I) menjadi Raja Sumedang Larang

Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.


Tahun 1558 (19 Juli 1558)

Lahir Pangeran Angkawijaya

Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum


Tahun 1578

Pangeran Angkawijaya (Pangeran Kusumadinata II, Prabu Geusan Ulun Memimpin Sumedang Larang

Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan. Sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati. Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 diceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra, sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang, Ciasem, dan Pamanukan.


 22 April 1578

Penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Penerus Kerajaan Sunda Padjadjaran

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (hal. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan


Tahun 1585

Peristiwa Harisbaya

Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik. Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang. Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon. Sebelum berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedang Larang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup. Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai. Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur


Pemindahan Pusat Pemerintahan ke Dayeuh Luhur

Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami. Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan. Setelah Ratu Harisbaya diceraikan oleh Panembahan Ratu, Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya dan berputra dua, Raden Suriadiwangsa dan Pangeran Kusumahdinata, sedangkan dari istri pertamanya Nyi Gedeng Waru berputra Rangga Gede


Tahun 1610

Sumedang Dipimpin oleh Pangeran Aria Soeriadiwangsa 

Ketika Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjabat Bupati Sumedang memakai gelar Dipati Kusumadinata III. Kemudian Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong.


Sumedang Memasuki Masa Kebupatian

Setelah Prabu Geusan Ulun Wafat, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Kerajaan Padjadjaran. Wilayah-wilayah seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu melepaskan diri dari kekuasaan Sumedang Larang. Wilayah Sumedang pada masa Kebupatian ini hanya meliputi wilayah Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura.


Sumedang Dipimpin oleh Dua Kepemimpinan

Pangeran Aria Soeriadiwangsa I (Putra Prabu Geusan Ulun dari istri keduanya: Ratu Harisbaya) memimpin Sumedang Larang. Sementara putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur.


Tahun 1614

Mataram Melakukan Pretensi Penguasaan Wilayah Sumedang Larang

Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram.


Tahun 1620

Sumedang Berada di Bawah Kekuasaan Mataram

Pada masa kepemimpinan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I, Mataram melakukan perluasan wilayah ke berbagai penjuru nusantara termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan sehingga akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan Sumedang ke Mataram ini berkaitan dengan kondisi Sumedang yang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk mengkoordinasikan para bupati tersebut diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625).


Tahun 1625

Sumedang Dipimpin oleh Pangeran Rangga Gede

Ketika Rangga Gempol berhasil menaklukan Madura atas permintaan Sultan Agung Mataram, Rangga Gempol tidak diperkenankan untuk kembali ke Sumedang. Dan kepemimpinan Sumedang dilanjutkan oleh Pangeran Rangga Gede. Walau ada tuntutan dari anak pertama Rangga Gempol, Raden Kartajiwa/Raden Soeriadiwangsa II sebagai putra mahkota untuk memimpin Sumedang. Karena permintaannya tidak dikabulkan, Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede. Meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706).


Tahun 1633

Sumedang Dipimpin oleh Pangeran Rangga Gempol II

Sepeninggal Rangga Gede, Sumedang dipimpin oleh Bupati Raden Bagus Weruh (putra pangeran Rangga Gede) yang kemudian memakai nama Pangeran Rangga Gempol II/Kusumahdinata V (1633 – 1656). Namun Pangeran Rangga Gempol II hanya diangkat sebagai Dipati Sumedang saja, tidak dengan jabatan Bupati Wadananya. Jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur/Raden Wangsanata yang merupakan Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II).


Tahun 1641

Pembagian Wilayah Sumedang Larang Menjadi Empat Kabupaten

Wilayah Sumedang Larang yang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung. Dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram.


Tahun 1656

Sumedang Dipimpin oleh Pangeran Panembahan/Rangga Gempol III

Pangeran Rangga Gempol III merupakan Bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya dipenuhi dengan semangat perjuangan dan patriotisme untuk mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran Rangga Gempol III/Kusumahdinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi. Cita-cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah Kerajaan Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dengan syarat Sumedang berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dengan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC . Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur. Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.


Tahun 1678 (10 Januari 1678)

Kesultanan Banten Mulai Menyerang Sumedang

Pasukan Banten dalam jumlah yang cukup banyak bergerak menuju Sumedang namun tidak melalui jalur utara atau laut, tetapi melalui daerah yang longgar dari penjagaan VOC, yaitu Maroberes (Muaraberes, kira-kira 15 km sebelah utara Bogor). Pasukan Banten yang lain menuju Sumedang melalui Tangerang ke Patimun. Pada awal Mei 1678 wadyabalad Banten telah sampai di Sumedang. Kota Sumedang dikepung pasukan Banten hampir satu bulan lamanya. Akan tetapi berkat tangguhnya pertahanan Sumedang, pasukan Banten tidak berhasil menguasai ibu kota Sumedang. Bertepatan dengan waktu penyerangan ini, di ibukota Banten sendiri sedang konflik antara Sultang Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji. Untuk menghadapi perlawanan Sultan Haji, Sultang Ageng Tirtayasa yang kekurangan tenaga, meminta pasukan Banten yang berada di Sumedang untuk pulang. Akibatnya adalah pemimpin pasukan Banten menarik mundur pasukannya untuk segera pulang ke Banten. Pasukan Banten tidak begitu saja bisa meninggalkan Sumedang, karena pasukan Sumedang mengejarnya sehingga terjadilah peperangan di Tegalluar. Kejadian ini berlangsung pada awal Juni 1678. Pemimpin pasukan Banten, Raden Senapati tewas di medan pertempuran. Pasukan Sumedang tidak hanya berhasil mengusir tentara Banten, tapi juga berhasil merampas 20 pucuk senapan. Gagallah serangan Banten terhadap Sumedang.


19 Juli 1678

Sumedang Mendapat Kunjungan VOC

Atas kemenangan Sumedang mengusir Banten ini pada tanggal 14 Juni 1678 Kompeni menyampaikan ucapan selamat. Kompeni pun berjanji akan membantu Sumedang dengan mengirim persenjataan. Satu bulan kemudian, yakni tanggal 19 Juli 1678 VOC mengutus Jochem Michels ke Sumedang menghadiahi senjata dan mesiu. Saat itu pun penjagaan muara Ciasem dan Pamanukan dengan kapal-kapal VOC berakhir. Atas kepiawaian Pangeran Panembahan dalam bernegosiasi, pada tanggal 7 Agustus 1678 Jochem Michels datang lagi ke Sumedang dengan menghadiahkan enam meriam, 70 kalantaka (meriam kecil), 70 bandelir (ikat bahu yang menyilang di dada), 150 peluru meriam dan satu tong peluru senapan).


08 September 1678

Kesultanan Banten Kembali Menyerang Sumedang

Kesultanan Banten mengirimkan pasukan sebanyak 10 kapal yang membawa 1000 prajurit untuk menyerang lagi Sumedang. Tanpa ada perlawanan pasukan Banten berhasil memasuki muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan. Daerah-daerah itu dihancurkan. Bupati Pamanukan, Wangsatanu, terkepung. Bupati Ciasem, Imbawangsa, yang juga saudara sepupu Pangeran Panembahan, ditawan dan kemudian dibunuh. Untuk menuju Sumedang, pasukan Banten dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Cakrayuda, yang merupakan menantu Wiraangun-angun, Bupati Bandung. Turut membatu Banten juga bupati Sukapura. Gabungan berbagai kekuatan itu mengepung Sumedang pada bulan Ramadhan dan mereka menyerang Sumedang saat lebaran yang bertepatan pada hari Jumat, tepatnya tanggal 18 Oktober 1678.


18 Oktober 1678

Peristiwa Tegalkalong

Bertepatan dengan Hari Raya 'Idul Fitri, rakyat dan pembesar Sumedang berada di Masjid Tegalkalong sedang melaksanakan shalat 'Id. Pasukan Kesultanan Banten menyerang pusat pemerintahan Sumedang di Tegalkalong. Sehingga banyak yang gugur. Pejabat Sumedang yang gugur diantaranya: Tumenggung Jagatsatru, Raden Dipa, Aria Santapura dan Mas Bayun. Sebagian keluarga Pangeran Panembahan ditawan, yaitu: Raden Singamanggala, Raden Bagus, Raden Tanusuta. Sedangkan Pangeran Panembahan sendiri berhasil lolos. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja.



Tahun 1679 (Februari 1679)

Pangeran Panembahan Meloloskan Diri ke Indramayu

Setelah kalah dari pasukan Banten, Pangeran Panembahan meloloskan diri dan meninggalkan Sumedang menuju ke Indramayu. Keberadaan Pangeran Panembahan di Indramuyu tidak berlangsung lama. Untuk mendapat bantuan, kemudian Pangeran Panembahan berangkat ke Galunggung, karena yang berkuasa di sana Demang Galunggung yang bernama Raden Sacakusumah, adalah pamannya. Ia adalah cucu Prabu Geusan Ulun. Di Galunggung ia bertemu juga dengan Tumenggung Tanubaya, Bupati Parakanmuncang. Di Galunggung Pangeran Panembahan berupaya menyusun pasukan seadanya. Tumenggung Tanubaya diangkat sebagai pemimpin pasukan. Setelah persiapan dianggap cukup, kemudian Tumenggung Tanubaya menyerang Sumedang. Tanpa perlawanan yang berarti Sumedang dapat dikuasai kembali oleh Pangeran Panembahan. Cilikwidara pun melarikan diri ke wilayah utara.


Juni 1679

Sumedang Direbut Kembali Pasukan Cilikwidara

Cilikwidara mengacaukan Pamanukan, Indramayu, Cirebon dan Tegal. Di sana Cilikwidara menyusun kekuatan untuk kembali menyerang Sumedang. Selang empat belas hari kemudian, Cilikwidara menyerang Sumedang. Pangeran Panembahan tidak bisa mempertahankan kemenangannya. Sumedang berhasil dikuasai lagi oleh Cilikwidara. Dengan demikian Cilikwidara kembali menduduki jabatan sebagai Bupati Sumedang, bahkan lebih leluasa. Pangeran Panembahan kembali melarikan diri ke Indramayu. Hingga tahun 1680 keadaan di Sumedang tidak berubah.


Tahun 1680

Cilikwidara Meninggalkan Sumedang

Ketika Sultan Haji memenangi peperangan melawan Sultan Agung di Banten, Cilikwidara dipulangkan dari Sumedang. Cilikwidara meninggalkan sumedang pada awal September 1680 dan sampai di Banten tanggal 14 Oktober 1680.


Tahun 1681 (27 Januari 1681)

Pangeran Panembahan Kembali ke Sumedang

Dua bulan setelah Cilikwidara meninggalkan Sumedang, Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang. Untuk mengamankan keadaan dalam negeri yang dirasakan banyak terjadi gangguan, Pangeran Panembahan berinisiatif membentuk lasykar penjaga keamanan yang disebut Pamuk. Pasukan ini terdiri atas 40 orang terpilih. Mereka dikirim ke daerah-daerah yang dianggap perlu mendapatkan bantuan pengamanan. Pangeran Panembahan pun memerintahkan kepada rakyatnya untuk membuka hutan guna dijadikan sawah. Dengan demikian di Sumedang pun jumlah sawah semakin luas. Sebagian dari sawah itu dijadikannya sebagai Carik atau Bengkok bagi para pamuk. Dengan demikian, Pangeran Panembahan pun dianggap pendiri lembaga Pamuk dan pencipta sistem Carik di Sumedang. Dalam perkembangan selanjutnya, tanah Carik itu tidak hanya diberikan kepada Pamuk, tapi juga kepada para pejabat kabupaten dan pamong-pamong desa.


Mei 1681

Pemindahan Pusat Pemerintahan ke Regol Wetan

Pangeran Panembahan menata kembali Sumedang. Ibu kota Kabupaten pada awal Mei 1681 dipindahkan dari Tegalkalong ke Regol Wetan. Di kota yang baru itu telah ada kira-kira 70 rumah. Rakyat yang mengungsi selama Sumedang dikuasai oleh Cilikwidara dipanggil kembali. Di Regol Wetan ini dibangun gedung Kebupatian yang baru yaitu Srimanganti. Sekaran gedung ini dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang. Namun pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II.


Tahun 1684 (15 November 1684)

Pengangkatan Bupati di Priangan dan Pembagian Wilayah

Kompeni/VOC mengadakan pertemuan dengan semua bupati Priangan yang tempatnya di benteng Bescherming, Cirebon. Dalam pertemuan itu dibuat surat keputusan (besluit) yang ditandatangani pada tanggal 15 November 1684. Dalam besluit itu Kompeni mengangkat bupati-bupati di Priangan untuk memerintah di daerah masing-masing sebagai wakil Kompeni. Pengangkatan para bupati itu disertai oleh pembagian cacah dalam jumlah yang bervariasi. Untuk Pangeran Panembahan sendiri mendapat 1.150 cacah ditambah 185 cacah yang tinggal di Tanjungpura, Bobos, Cileungsir, Ciasem, Galobaligung dan Cipinang. Walau surat keputusan itu menunjukkan bahwa wilayah Priangan berada di bawah kekuasaan VOC, namun bagi Pangeran Panembahan tidak berarti apa-apa. Sumedang tidak tunduk pada VOC dan tidak juga pada Mataram.


Tahun 1704 (13 Maret 1704)

Pangeran Panembahan Membangkang Kepada VOC

Ketika VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur Kompeni di Priangan, Pangeran Panembahan yang berhasrat menjabat Gubernur Kompeni tersebut merasa kecewa. Karena merasa kecewa, Pangeran Panembahan mengembalikan besluit pengangkatannya sebagai bupati. Hal ini menandakan bahwa Pangeran Panembahan melakukan pembangkangan kepada VOC.


Tahun 17050 (5 Oktober 1705)

Penyerahan Bekas Wilayah Mataram ke VOC

Mataram menyerahkan semua bekas wilayah kekuasaannya yang terletak di sebelah timur Cipunagara dan Citarum. Ini menjadi tanda bahwa wilayah Priangan berada di bawah VOC secara de facto dan de jure, termasuk Sumedang.


Tahun 1706

Raden Tanumadja Diangkat menjadi Bupati Sumedang

Pengganti Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan. Pangeran Tanumadja melanjutkan pembangunan ibukota Sumedang di Regol Wetan termasuk gedung Kabupatian baru yang bernama Srimangani.


Januari 1706

Pangeran Panembahan Wafat

Pada tanggal 4 Februari 1706 diterima kabar dari komandan Tanjungpura bahwa Pangeran Panembahan telah wafat. Atas dasar informasi itu diperkirakan Pangeran Panembahan wafat pada akhir Januari 1706. Beliau dimakamkan di Gunung Puyuh Kecamatan Sumedang Selatan, sebelah kiri makam ayahnya, Pangeran Rangga Gempol II. Sebagai gantinya diangkatlah putera sulungnya bernama Raden Tanumaja sebagai bupati Sumedang.


Tahun 1707

Sumedang Melepaskan Diri dari Mataram

VOC mengadakan perjanjian secara tertulis dengan Mataram yang disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC. Kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Namun permintaan VOC tersebut ditolak oleh Susuhunan Amangkurat I dan menyatakan bahwa daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan kekuasaan Kebupatian Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan, bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang Larang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun.


Tahun 1709

Raden Kusumadinata/Pangeran Karuhun Diangkat menjadi Bupati Sumedang

Setelah Raden Tumenggung Tanumadja wafat, digantikan oleh putranya: Raden Kusumadinata VII (1709 – 1744) yang diangkat menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar Rangga Gempol IV seperti kakeknya. Namun gelar tersebut tidak diakui oleh VOC. Identik dengan ayahnya, Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi Pangeran Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin di bawah perintahnya. Sebelum wafat Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut Jawa dan Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai keburu wafat, setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran Kusumadinata terkenal sebagai bupati yang memajukan persawahan.


Tahun 1744

Sumedang Dimpimpin Bupati Perempuan Pertama, Nyai Raden Radjaningrat

Yang menggantikan Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun adalah putri sulungnya yaitu Nyai Raden Radjaningrat/Dalem Istri Radjaningrat. Nyai Raden Rajaningrat dikenal sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan Bupati Sumedang ke-9 dari tahun 1744 s.d. 1759. Nyai Raden Rajaningrat menikah dengan Dalem Surianagara (putra Raden Wangsadita Bupati Limbangan). Alasan VOC berkaitan dengan penunjukan ini karena semua anak laki-laki dari Pangeran Kusumadinata/Pangeran Karuhun (Puspanata, Diranata dan Tawang) dianggap tidak memenuhi syarat. Berbeda dengan salah satu pendahulunya yaitu Ratu Pucuk Umun, Nyai Raden Rajaningrat walaupun seorang perempuan/istri tetap memiliki kekuasaan dan menjalankan pemerintahannya secara langsung (tidak diserahkan kepada suaminya). VOC memanggilnya Regeentes (Bupati Perempuan). Salah seorang cucunya yang bernama Raden Djamu yang masih berusia anak-anak disepakati untuk dipersiapkan sebagai calon Bupati berikutnya.


Tahun 1759

Raden Anom/Adipati Kusumadinata Menjadi Bupati

Sambil menunggu Raden Jamu dewasa, salah satu putra Nyai Raden Ardjaningrat yang bernama Raden Anom diangkat menjadi Bupati Sumedang ke-10 dan bergelar Adipati Kusumadinata. Raden Anom hanya memerintah selama dua tahun dari tahun 1759 s.d. 1761,. Tidak ada catatan khusus mengenai kepemimpinan Raden Anom ini.


Tahun 1761

Raden Surianagara Menjadi Bupati

Kepemimpinan Bupati Sumedang selanjutnya diserahkan kepada anak berikutnya (adik Raden Anom) yang bernama Raden Surianagara (1761 - 1765). Sebagai Bupati Sumedang ke-11 yang kemudian bergelar Adipati Surianagara II, beliau adalah ayah kandung Raden Jamu dari pernikahannya dengan Nyai Mas Naga Kasih (hanya memiliki 2 orang anak). Sebagaimana kakaknya, Raden Surianagara memerintah dalam jangka waktu yang pendek, hanya 4 tahun. Tidak ada catatan khusus selama beliau memimpin.


Tahun 1765

Raden Surialaga Menjadi Bupati

Karena putranya (Raden Jamu) masih belum dewasa maka yang menggantikan Raden Surianagara adalah adiknya yang bernama Raden Surialaga. Raden Surialaga menjabat Bupati yang ke-12 dari tahun 1765 s.d. 1773. Tidak ada catatan khusus mengenai beliau. Setelah meninggal dunia terjadi kekosongan Kebupatian Sumedang karena Raden Djamu masih dianggap belum dewasa. Raden Surialaga sendiri akhirnya dijuluki Dalem Panungtung (Bupati paling ujung/akhir) dari silsilah keturunan Pangeran Santri.


Tahun 1773

Bupati Parakanmuncang Menjabat Bupati Sumedang

VOC memutuskan untuk menempatkan Bupati Parakanmuncang, Adipati Tanubaya sebagai pejabat Bupati Sumedang untuk sementara waktu sambil menunggu Raden Djamu dewasa.

Sumedang dipimpin oleh Bupati Panyelang

Ketika Raden Surialaga wafat dan meninggalkan 6 orang putera puteri, di mana putra sulungnya yang bernama Raden Ema masih berusia 9 tahun, timbullah masalah. Siapakah yang harus menggantikannya. Sementara calon yang diajukan dari dulu, yaitu Raden Djamu masih belum dewasa dan baru berusia 11 tahun. Karenanya VOC mengangkat bupati panyelang sebagai Bupati Sumedang. Selama tiga periode Sumedang dipimpin bupati panyelang yang berasal dari Parakanmuncang.


Tahun 1775

Tumenggung Patrakusuma menjadi Bupati Panyelang Kedua

Sepeninggal Adipati Tanubaya, pejabat Bupati Sumedang diserahkan kepada menantunya, Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Parakanmuncang. Pengangkatan Tumenggung patrakusuma mendapat dukungan dari 4 umbul terutama di Sumedang. Setelah mendapat dukungan Patrakusuma berhenti menjadi Bupati Parakanmuncang. Setelah menjabat, mengambil gelar dari ayahnya, Adipati Tanubaya II. Namun tidak diakui oleh VOC. Pada masa pemerintahannya Tumenggung Patrakusuma melakukan pelanggaran maka ia diberhentikan oleh VOC dari kedudukan Bupati Sumedang kemudian diasingkan ke Batavia.


Tahun 1789

Patih Sumedang, Raden Satjapati menjadi Bupati Panyelang Ketiga

Sebagai pengganti Tumenggung Patrakusuma maka diangkatlah Raden Satjapati yang pada waktu itu menjabat sebagai patih Sumedang. Setelah diangkat menjadi bupati memakai gelar Adipati. Posisi Satjapati menjadi bupati tidak berlangsung lama karena oleh VOC dianggap kurang cakap dan kemudian diturunkan pangkatnya menjadi patih kembali. Untuk mengisi kekosongan bupati, Satjapati mengirim surat ke Bupati Cianjur Wiratanudatar IV memohon agar Raden Surianagara/Djamu waktu itu menjabat sebagai Wadana Cikalong diusulkan untuk menjadi Bupati Sumedang, yang akhirnya usul tersebut diterima oleh VOC dan Raden Surianagara/Raden Djamu diangkat menjadi Bupati Sumedang.


Tahun 1791

Adipati Surianagara III/Pangeran Kornel Menjabat Bupati

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Raden Djamu diangkat menjadi Bupati Sumedang. Raden Djamu atau dikenal juga dengan gelar Adipati Surinagara III yang sebelumnya menjabat Wedana Cikalong Kabupaten Cianjur, atas usulan Raden Aria Satjapati dan berkat perlindungan serta dukungan Bupati Cianjur akhirnya Raden Djamu dapat kembali ke Sumedang dengan selamat. Kemudian diangkat sebagai Bupati Sumedang ke-15 (dalam urutan para Bupati Sumedang) dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX. Pengangkatan Raden Djamu ini dianggap sebagai kembalinya tampuk jabatan bupati kepada keturunan langsung Pangeran Santri yang dalam beberapa periode sempat terputus (menunggu Raden Jamu dewasa).


Bupati Sumedang Dijabat Keturunan Sumedang Kembali

Setelah menginjak dewasa Raden Djamu dinikahkan dengan putri Adipati Tanubaya II, Nyi Raden Radja Mira dan dikaruniai seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan dari Demang Dongkol (besan Adipati Tanubaya II) yang berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati. Akhirnya Raden Djamu mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya. Di Limbangan posisi Raden Djamu masih tidak aman sehingga melanjutkan perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanu Datar IV. Kemudian Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong dengan nama Raden Surianagara III. Ketika jabatan Bupati Sumedang ditinggalkan oleh Aria Satjapati, Aria Satjapati mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanu Datar IV memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada VOC. Usulan ini diterima oleh VOC dan diangkatlah Raden Djamu/Surianagara III menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX (1791 – 1828).


Tahun 1811

Pembuatan Jalan Pos antara Anyer - Banyuwangi

Ketika VOC mengalami kebangkrutan, kepemimpinan tanah jajahan langsung dipegang oleh Kerajaan Belanda. Kerajaan Belanda mengangkat Gubernur Jenderal sebagai perwakilan penguasa di negeri nusantara. Dan kemudian William Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Salah satu program yang dicanangkan oleh William Daendels adalah pembuatan jalan pos yang menghubungkan Anyer dengan Banyuwangi. Di wilayah Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumadinata menganjurkan dan mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas itu.


 26 November 1811

Pembuatan Jalan Pos di Cadas Pangeran

Pembobokan gunung cadas dalam rangka pembuatan jalan pos dimulai. Rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang dibuat. Rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan, Pangeran Kusumadinata menolak karena tidak tega melihat rakyatnya menderita. Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran Kusumadinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran Kusumadinta menyambutnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang keris Nagasastra siap menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari Pangeran Kusumadinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas keberanian Pangeran Kusumadinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu disebut “Cadas Pangeran”.


Tahun 1826

Pemberian Pangkat Kolonel kepada Pangeran Kusumadinata IX

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumadinata mendapat pangkat militer sebagai Kolonel dari pemerintah Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon. Serta menumpas para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke Sumedang dari Cirebon. Sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran Kornel. Selain keberaniannya menentang perintah Daendels dan pemerintah Kerajaan Belanda/Inggris, Pangeran Kusumadinata adalah bupati yang jujur, berani, cerdas, paling pandai dan paling aktif dari semua para bupati di Priangan. Keadilan, kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan dan kegagahan Pangeran Kornel dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa tanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat meminta nasehat bupati lainnya. Pangeran Kusumadinata sewaktu mulai menjabat bupati membuka lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi yang subur dan berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih baik dibandingkan masa bupati-bupati sebelumnya (penyelang). Residen Priangan Van Motman menyatakan Pangeran Kusumadinata adalah bupati pangkatnya paling tinggi antara para bupati di Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan Belanda memberi bintang jasa dari mas.


Tahun 1828

Bupati Sumedang Diteruskan oleh Raden Adipati Kusumayuda/Dalem Ageung

Sepeninggal Pangeran Kornel, jabatan Bupati Sumedang diteruskan oleh putranya, Raden Adipati Kusumayuda. Karena perawakannya yang berbadan tinggi besar, sehingga dijuluki Dalem Ageung. Hanya sedikit catatan yang menceritakan kepemimpinan Dalem Ageung ini, antara lain bagaimana beliau lebih disibukkan urusan keamanan, sering bertempur dan terlibat perkelahian langsung dengan para perusuh serta perampok. Rupanya Dalem Ageung memiliki keahlian dan hobi bertempur/berkelahi.


Tahun 1833

Bupati Sumedang Dijabat Adipati Kusumadinata/Dalem Alit

Sepeninggal Adipati Kusumayuda seharusnya jabatan bupati digantikan oleh Raden Somanagara. Namun karena Raden Somanagara masih kanak-kanak dan khawatir peristiwa proses pengangkatan Pangeran Kornel terulang kembali, jabatan Bupati Sumedang sementara dipegang oleh sang paman bernama Adipati Kusumadinata. Adipati Kusumadinata hanya menjabat satu tahun dan dilanjutkan oleh Tumenggung Suriadilaga.


Tahun 1834

Bupati Sumedang Dilanjut oleh Tumenggung Suriadilaga

Sebagai pengganti Adipati Kusumadinata, untuk sementara diangkat Tumenggung Surialaga (1834 – 1836) yang ketika itu menjadi Patih Polisi. Tetapi tidak berlangsung lama, baru satu tahun menjabat bupati meminta pensiun.


Tahun 1836 (20 Januari 1836)

Raden Somanagara Menjabat Bupati Sumedang

Akhirnya pada tanggal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Suria Kusumah Adinata. Kecerdasan, kepemimpinan dan kesetiaannya terhadap pengabdian kepada rakyat terlihat dengan jelas. Kebutuhan masyarakat diutamakan seperti pembuatan jalan, pengairan, pertanian dan sebagainya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Raden Somanagara dikenal sebagai Bupati terkaya dalam urutan para Bupati Sumedang sebelumnya dan terkaya di Tatar Sunda waktu itu. Kekayaannya berasal dari warisan para pendahulunya berupa tanah Kaprabon yang diawali dari sejak Pangeran Panembahan yang semakin bertambah luas termasuk jumlah arealnya. Ditambah dengan meingkatnya produksi pertanian terutama padi, kopi dan nila. Karena kekayaanya Raden Somanagara dijuluki Dalem Sugih.


Tahun 1841 (14 Agustus 1841)

Raden Somanagara Mendapat Gelar Adipati

Pada tanggal 14 Agustus 1841 Surat Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda No. 24 Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat gelar Adipati.


Tahun 1850 (31 Oktober 1850)

Raden Somanagara Mendapat Gelar Pangeran

Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda No. 24 Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat gelar Pangeran.


Tahun 1851 (11 Januari 1851)

Lahirnya Raden Sadeli

Putra Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata lahir ke dunia dan diberi nama Raden Sadeli.


Tahun 1882 (22 September 1882)

Raden Somanagara Wafat

Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata wafat pada tanggal 22 September 1882 dan dimakamkan di Gunung Puyuh


Tahun 1883 (31 Januari 1883)

Pangeran Aria Suria Atmadja Menjabat Bupati Sumedang

Setelah Pangeran Suria Kusumah Adinata wafat, kemudian digantikan oleh putranya Raden Sadeli. Sebelum menjadi bupati Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling Sukapura – Kolot di Mangunreja. Pada tanggal 31 Januari 1883 diangkat menjadi bupati memakai gelar Pangeran Aria Suria Atmadja (1883 – 1919). Pangeran Aria Suria Atmadja merupakan pemimpin yang adil, bijaksana, saleh dan taqwa kepada Allah. Raut mukanya tenang dan agung, memiliki displin pribadi yang tinggi dan ketat. Pangeran Aria Suria Atmadja memiliki jasa yang besar dalam pembangunan berbagai bidang seperti bidang pertanian (membangun irigasi, penanaman sayuran dan pembuatan lumbung padi), bidang peternakan dengan mendatangkan bibit unggul dari luar daerah (sapi dari Madura dan Benggala, kuda dari Sumbawa), bidang perikanan terutama perikanan di sungai, bidang kehutanan dengan adanya penanaman pohon di pegunungan yang gundul, bidang kesehatan dengan adanya pemberantasan penyakit menular, bidang pendidikan dengan dibangunnya sekolah pertanian di Tanjungsari, bidang perekonomian dengan dibangunnya Bank Prijaji pada tahun 1901 termasuk Bank Desa (1915), bidang politik dengan mengusulkan penggunaan senjata bagi rakyat, bidang keagamaan dan kebudayaan.


Tahun 1891

Pangeran Aria Suria Atmadja Mendapat Groot Gouden Ster

Pangeran Aria Suria Atmadja mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891). Selain itu, juga dianugerahi beberapa bintang jasa pada tahun 1901, 1903, 1918, Payung Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.


Tahun 1912 (22 September 1912)

Pangeran Aria Suria Atmadja Mewakafkan Pusaka Peninggalan Leluhur

Pada masa pemerintahan Pangeran Aria Suria Atmadja mendapatkan warisan pusaka-pusaka peninggalan leluhur dari ayahnya Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata , Pangeran Aria Suria Atmadja mempunyai maksud untuk mengamankan, melestarikan dan menjaga keutuhan pusaka. Selain itu agar pusaka merupakan alat pengikat kekeluargaan, kesatuan dan persatuan wargi Sumedang, maka diambil langkah sesuai agama Islam Pangeran Aria Suria Atmadja mewakafkan pusaka ia namakan sebagai “barang-barang banda”, “kaoela pitoein”, “poesaka ti sepuh”, dan “asal pusaka ti sepuh-sepuh” kepada Tumenggung Kusumadilaga pada tanggal 22 September 1912, barang yang diwakafkannya itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun juga, tidak boleh dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar dan diganti. Dengan demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka terjamin. Wakaf mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang atau wafat.


Tahun 1919

Tumenggung Aria Kusumadilaga Menjadi Bupati Sumedang

Setelah Pangeran Aria Suria Atmadja pensiun, jabatan Bupati Sumedang pindah ke Tumenggung Aria Kusumadilaga (1919 – 1937) yang dikenal juga sebagai Dalem Bintang. Tumenggung Aria Kusumadilaga merupakan saudara Pangeran Aria Suria Atmadja. Pada masa pemerintahannya mengalami perkembangan Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda), partai politik dan pemberontakan komunis di Jawa Barat.


Pangeran Aria Suria Atmadja Pensiun

Pada tahun 1919 Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang dengan mendapat pensiun.


 30 Mei 1919

Penyerahan Barang Wakaf

Pada tanggal 30 Mei 1919 dilakukan penyerahan barang “Asal pusaka ti sepuh-sepuh” dan “Tina usaha kaula pribadi” kepada Tumenggung Kusumadilaga yang menjadi bupati Sumedang menggantikan Pangeran Aria Suria Atmadja .Tumenggung Kusumadilaga baru menerima barang-barang yang diwakafkan kepadanya dengan ikhlas dan bersedia mengurusnya dengan baik seperti dalam suratnya tertanggal 18 Juni 1919.


Tahun 1921 (01 Juni 1921)

Pangeran Aria Suria Atmadja Wafat

Pangeran Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1 Juni 1921 dimakamkan di Ma’la Mekah ketika menunaikan ibadah haji sehingga di kenal sebagai Pangeran Mekah.


Tahun 1922 (25 April 1922)

Pendirian Monumen Lingga

Untuk menghormati jasa Pangeran Aria Suria Atmadja, pada tanggal 25 April 1922 pemerintah Belanda mendirikan sebuah monumen berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota Sumedang. Monumen ini diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock serta dihadiri para bupati, residen se-priangan serta pejabat-pejabat Belanda dan pribumi.


Tahun 1937

Raden Suria Sumantri Menjabat Bupati Sumedang

Tumenggung Adipati Kusumadilaga digantikan oleh Raden Suria Sumantri atau Dalem Aria. Setelah menjadi Bupati, memakai gelar Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata. Dalem Aria merupakan bupati tiga jaman, pertama jaman Hindia Belanda, kedua Jepang dan Republik Indonesia.


Tahun 1946

Raden Hasan Suria Sacakusumah Menjadi Bupati Perjuangan

Raden Hasan Suria Sacakusumah atau “Bung Hasan” diangkat sebagai bupati perjuang oleh Republik Indonesia. Masa pemerintahannya ditandai dengan berkembangnya gerakan Darul Islam (DI) dan Invansi militer Belanda kedua ke Indonesia. Bupati dan rakyat Sumedang berangkat mengungsi ke pedalaman. Sehingga gedung Kebupatian dan Srimanganti ditempati tentara Belanda. Pada masa jabatannya terdapat tiga macam pemerintahan di Sumedang, Pemerintahan Belanda, Pemerintahan Negara Pasundan dan Republik Indonesia. Berhubung Bung Hasan belum kembali dari pengungsian maka pemerintahan Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Muhamad Singer sebagai Bupati Sumedang.


Tahun 1947 (05 Desember 1947)

Tumenggung Muhamad Singer Menjabat Bupati

Tumenggung Muhamad Singer merupakan keponakan dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Sebelum diangkat menjadi Bupati Sumedang, pada tahun 1938 merupakan seorang Pamong Praja yang bertugas di Irian Barat, Australia, Sulawesi dan Kalimantan Timur di Karesidenna. Pada tanggal 5 Desember 1947 diangkat menjadi Bupati Sumedang. Pada masa jabatan Tumenggung Muhamad Singer banyak menghadapi banyak masalah salah satunya pemberontak Darul Islam (DI) dan pertempuran antara RI dan Belanda. Sampai akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan akhir masa jabatannya diberi tugas belajar ke negeri Belanda untuk mengikuti usaha pembangunan di berbagai negara yang dilanda perang dunia ke-2, sekembalinya dari Belanda ditempatkan di bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.


Tahun 1949

Raden Hasan Suria Sacakusumah kembali Menjadi Bupati

Pada masa Muhamad Singer, Raden Hasan Suria Sacakusumah diangkat kembali menjadi bupati pada tahun 1949 menggantikan Muhamad Singer yang berangk oBelanda. Masa jabatannya hanya satu tahun kemudian diserahkan kepada Raden Abdulrachman Suria.

(Dari berbagai sumber)

Comments